Oleh Claudine Laura
YinniHao-Minggu.Hari ketujuh dalam seminggu yang punya banyak kisah di baliknya, tetapi akan kuceritakan versiku. Ketika para penganut-Nya pergi ke gereja memperingati hari Sabat dan sebagian lainnya masih berbalut selimut di atas ranjang, pukul 06.30 aku bangun seperti di hari biasanya. Hal pertama yang terlintas di benakku adalah, “Ayo keluarkan sarapan pagi ini dari dalam kulkas.”
Maksudnya itu susyi diskon tiga puluh persen yang sudah dibeli kemarin malam.
Setelah gosok gigi dan buang air besar, aku kembali lagi ke kamar, membuka bungkusan dan menyantap sarapan dinginku itu, sekaligus memeriksa lagi apakah ada yang terlupakan olehku. Begitu semua beres, aku berjalan ke gedung olahraga. Sesekali kulirik jam tangan, sebab seingatku kami para peserta diminta untuk datang pukul delapan. Walau begitu, kudapati lokasi pertandingan masih kosong melompong. Ketika aku sampai, baru hadir tiga orang; 1 kating kami yang perempuan—orangnya sedang menyiapkan piste , kemudian 2 orang sisanya baru datang tak lama setelah kuletakkan barang-barangku.
“Kamu datang kepagian,” komentar kating kami yang perempuan itu. Aku tahu orangnya, tetapi tidak tahu namanya. Itu berlaku untuk semua kating dalam klub anggar, kecuali sekitar dua atau tiga orang.
Aku terkekeh membalasnya. “Mungkin kamu mau pemanasan sendiri dahulu?”
Usulan itu kutolak halus. Toh, nanti juga bakal ada pemanasan bersama yang lainnya, begitu pikirku.
Menjelang pukul 08.30, tempat itu sudah mulai ramai—peserta putri total enam orang termasuk aku, sedangkan jumlah peserta putra sekitar dua kali lipat jumlah kami. Tepat pukul 08.30, kami menandatangani absensi masing-masing, kemudian ambil nomor urut tanding. Pertama kuambil itu tulisannya “3”, tetapi aku disuruh mengambil lagi karena nomor 3 sudah ada yang dapat.
Sembarangan kupilih salah satu kertas yang dilipat itu. “Lima,” bacaku melaporkan. Setelah itu kertasnya kukembalikan dan berjalan ke meja sebelah untuk mengambil kabel, yang mana kusisihkan di dekat tasku sampai setelah pemanasan.
Usai pemanasan, semua orang mulai mengenakan baju anggar masing-masing. Tentu saja, kami semua modal pinjam. Kalau sudah pinjam, nanti saat pulang akan diberi tanggung jawab untuk mencucinya.
“Lamé -nya nanti dipakai bergantian, jadi setelah kalian selesai tanding satu set, lepaskan dan kembalikan ke rak gantung atau berikan pada peserta selanjutnya,” kata seorang kating.
Dalam hati, aku mengiakan paham, tetapi tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
Eh, ini pertandingannya foil , dong! Tak kira épée dari kemaren.
“Kalian sudah paham harus berdiri di kiri atau kanan, belum?”
Hening. Selain suara-suara yang ditimbulkan anak-anak klub voli di lapangan indoor sebelah, kami yang lokasi pertandingannya di atas panggung itu tidak ada yang buka mulut, membuat si kating otomatis menjelaskan sendiri. Kalau 1-2 itu maksudnya peserta nomor 1 di kiri dan peserta nomor 2 di kanan, demikian jelasnya. Kuintip kertas tabel pencatat poin itu. Bagian “Pools of 6” ditandai secara khusus, sebab jumlah kami adalah enam.
“Nanti kalian bakal mencatat poin secara bergilir, ya,” pesan kating itu tak lama kemudian. Dalam hati aku merasa seperti apes sekali, sebab aku tidak paham sama sekali cara kerjanya.
Aku menunggu di samping. Giliranku itu masih yang ketiga, sih, soalnya. Begitu giliran grup kedua yang tanding untuk babak preliminasi, aku berjalan ke ujung yang satu lagi, sebab di kertas tulisannya “6-5”. Yü Rong, lawan tandingku, mengucapkan sesuatu yang membuatku ragu seketika, berakhir dengan aku kembali lagi untuk mengecek ponsel dan kembali lagi berkata, “Yü Rong, kamu di sebelah situ.”
Begitu grup kedua selesai, aku yang baru saja kelar berurusan dengan lamé pun membantu melepaskan wire peserta yang akan aku ambil alih tempatnya. Kupasang wire-ku, yang mana jumlahnya ada tiga; 1 dijepit ke lamé, 1 dihubungan ke rolling —kalau di sini, sebutannya ada “kura-kura”-nya—sedangkan 1 ujung terakhir kusambungkan ke pedang itu sendiri. Seorang kating kami yang jadi wasit datang mendekat. Di tangannya ada pemberat 500 gram yang mana dia letakkan di ujung foil. Recording berbunyi dan menampilkan lampu putih, kemudian setelah lampunya padam baru pemberat itu diangkat dan dicoba pada pedang lawan tandingku.
“Oke, tes tusuk,” suruh kating yang berperan jadi wasit itu. Baik aku dan Yü Rong mengarahkan pedang ke satu sama lain dan saling menusuk. Setelah recording menyala lagi, kali ini, 1 merah dan 1 hijau, kami memberi salut pada lawan tanding dan wasit secara bergantian lalu memakai masker anggar.
Kami berdua bersiap di belakang garis en garde.
“En garde. Prêts? Allez! ”
Aku maju, dia juga maju. Dia menyerang, aku parade , kemudian riposte . Setidaknya, itu versi teori dari rencanaku.
Nyatanya, aku kalah telak tanding dengan kawanku yang satu ini. Entah kenapa aku sudah tahu aku akan kalah telak. Yü Rong cepat sekali—bukan, kurasa lebih tepatnya semua orang cepat sekali—aku tidak ingat poin-poin yang aku dapatkan saat babak preliminasi, tetapi aku menang satu kali tanding. Yang agak aku sayangkan adalah satu set lain di mana aku dan lawanku hanya selisih satu poin. Aku dapat 4 lalu lawan tandingku yang set itu dapat 5, mentok begitu.
Setelah istirahat sambil menunggu pertandingan preliminasi putra selesai, kudesak Cece membawakan makan siang karena setelah kutanyakan pada kating yang kebetulan duduk menganggur di situ, kalau mau makan siang sudah boleh makan sekarang. Cece baru datang saat penyisihan grup pertama sudah tengah jalan. Makan siangku kulahap dengan tidak santainya, sebab babak penyisihan tidak ada daftar urutan tanding; kalau kamu dipanggil, berarti memang sudah giliranmu.
“Su Huei, sini,” panggil seorang kating kami yang perempuan.
Su Huei itu namaku yang Mandarin.
“Baru juga selesai makan, Ce,” ujarku pada Cece.
Aku berdiri di sisi kiri sesuai arahan kating itu. Ketika sudah kupasang semua wire-nya, barulah aku sadar setelah diingatkan kalau aku melupakan lamé. Kulepas lagi semuanya, berjalan ke ujung untuk mengambil lamé, kemudian kembali lagi ke tempat tadi.
Setelah peralatan dites ulang, seperti tiap kali gantian tanding, aku bersiap dengan kuda-kudaku di belakang garis en garde.
“En garde. Prêts? Allez!”
Pada mulanya aku memimpin. Kalau tidak salah setelah aku mendapat sembilan poin, lawanku mulai menyusul. Sesekali aku mengenali istilah-istilah dan gestur wasit yang kupelajari saat kelas wasit hari Kamis lalu—parade-riposte, misalnya, point ketika ada yang berhasil mendapatkan poin atau attaque dan touche—tetapi aku masih belum paham apa maksud dari kedua istilah ini.
“NO VALABLE! ”
Setelah sekian banyaknya pernyataan tidak sah dari wasit terkait serangan yang kulancarkan, kira-kira di tengah-tengah pertandingan eliminasi inilah insiden “itu” terjadi. Setelah seranganku yang sebelumnya, kutatap aneh bilah pedangku karena lengkungannya tiba-tiba bengkok sekali. Perasaan tadi nggak gitu banget, batinku dalam hati, tetapi tidak kuindahkan perasaan aneh itu kala kating si wasit sudah mengucapkan isyarat untuk mulai.
“En garde. Prêts? Allez!”
Aku menerjang ke depan—fente , sebutannya—walau gerakannya tidak sempurna. Begitu ujung pedangku mengenai tubuh lawan, sesuatu yang mengilap terlontar ke atas. Aku, masih dengan posisi fente yang tertahan, berusaha menelaah situasi. Mendadak aku menyadari pedangku bertambah pendek.
“UWOOOH!” Buset, batinku. Pedangnya patah!
Lokasi pertandingan untuk sesaat riuh oleh sorakan dan tepuk tangan. Aku melirik ke sumber suara, mendapati para kating yang tengah menonton itu bertepuk tangan. Aku yang didatangi seorang kating dengan pedang cadangan di tangan sontak kelabakan meminta maaf, yang mana kating itu dengan baik hatinya menjawab, “Tidak apa-apa, kok. Tenang saja.”
Meski begitu, aku merutuk dalam hati. Harusnya tadi aku minta waktu buat membetulkan si pedang sebentar, begitu pikirku. Pertandingan pun berlanjut dan babak penyisihanku yang pertama berakhir dengan kekalahanku. Aku sampai sekarang masih garuk-garuk kepala akan kenapa poinnya lari ke lawanku, padahal setahuku aku yang melakukan serangan. Alasannya sudah pasti ada padaku, diriku yang masih belum paham sepenuhnya akan aturan poin dalam pertandingan. Aku melepas wire, kemudian setelah pamit pada kedua orang kating yang kebetulan ada di dekat sana, aku pulang dengan poin 12-15.
[1] Alas untuk anggar
[2]Vest anggar yang warnanya abu-abu (untuk anggar jenis foil dan sabre)
[3] Salah satu jenis pedang dalam anggar
[4] Salah satu jenis pedang dalam anggar
[5] Kabel yang menghubungkan peralatan
(senjata) dan kalau dalam foil, lamé
[6] Penghubung antara perlengkapan anggar ke
recording, mesin penghitung skor
[7] Mesin penghitung skor dalam pertandingan
anggar
[[8] Hormat
[9] Berjaga. Siap? Mulai!
[10] Gerakan menangkis dalam anggar
[11] Gerakan menyerang balik setelah parade
12] Tidak sah!
[13] Teknik menyerang dalam anggar berupa terjanganke depan
Tentang Penulis
Dengan nama pena Claudine Laura, penulis kelahiran Bandung pada tanggal 5 Februari 2004 ini tidak memiliki cita-cita yang spesifik, tetapi motonya, “Asal bisa berguna bagi Indonesia apa pun kontribusinya.” Kagum terhadap penyandang disabilitas dan menguasai sedikit bahasa isyarat. Penulis yang berkarya di Wattpad @ClaudineLaura dengan akun Instagram @claudinelaura_.