Oleh Claudine Laura

“Aku lewat tangga, ya,” ujarku. Sontak salah satu dari ketiga temanku bertanya kenapa. “Olahraga. Dingin juga soalnya.”

Sembari menuruni anak tangga perlahan karena nyeri otot ringan, aku mengeluarkan penghangat saku dari dalam tas. Kemarin malam aku baru kepikiran mengeluarkannya, sebab baru kusadari kalau telapak tanganku itu agak beda dari biasanya; kesampingkan soal suhu udara malam yang baru juga belasan itu, telapak tanganku dua-duanya pucat sekali dan urat-urat biru yang tidak pernah kelihatan jadi menampakkan diri semua.

Kusobek bungkusan luarnya yang berlatar warna emas itu. Aku merasa seperti sedang memegang sebuah kantong teh raksasa bermotif tanpa talinya. “Habis tuh, kibas-kibas beberapa kali,” gumamku, mengingat kembali cara pemakaian yang dijelaskan Cece—maksudnya kayak perempuanku—padaku awal bulan September lalu. Entah karena aku mengibaskannya tidak benar atau apa, penghangat saku yang kukira akan panas itu ternyata “hangat” saja. Cece sempat mengingatkan, jangan memegangnya langsung dengan tangan kosong dalam jangka waktu yang lama.

“Nanti terbakar kulitmu, Dek,” katanya waktu itu. “Jangan juga dibawa ke atas kasur. Biasanya orang taruh di deket perut, sih.”

“Kalo kantong? Kantong boleh ‘kan, ya?”

Cece mengatupkan mulutnya berpikir sejenak, menjadikan kamar yang dia tempati itu hening sebelum dia menjawab lagi, “Boleh.”

Setelah menuruni anak-anak tangga jatah empat lantai, aku menunggu di lobi di depan lift dengan perasaan heran. Biasanya juga mereka yang sampai lebih dahulu, begitu pikirku sambil menatap pintu lift. Detik berikutnya, pintu itu terbuka dan dari dalamnya berhamburan keluar para penghuni asrama. Kami berempat berjalan bersama, melangkah hati-hati supaya genangan air yang tidak sengaja kami injak cukup membasahi bagian luar sandal kami.

Di tengah-tengah perjalanan menuju kelas, kupanggil temanku. Sebut saja namanya Aisley. Kutanya dia, dingin tidak tangannya? Dia mengangguk seraya mengiakan. “Sini,” ajakku, kemudian mengeluarkan penghangat saku yang kugenggam dalam kantong jaketku. Kubiarkan dia menggandeng tanganku dengan si penghangat saku di antara tangan kami.

“Eh, hangat,” komentarnya.

Yah, setidaknya itu salah satu dari tangan kami.

Tangan kami yang lain sibuk memegang payung; dalam hati aku merutuk karena selain satu tangan hangat dan satu tangan dingin, anggota tubuh lain yang patut dikasihani adalah kaki.

“Maunya, sih, pake sepatu, terus kaos kakian. Cuma ini lagi hujan, nggak guna pake sepatu juga. Basah ntar,” keluh Aisley. Dalam hati aku teringat teman kami yang satu lagi yang rumahnya di kota, datang dengan kaki berbalut kaus kaki dan sandal. “Jadi buat apa juga aku bawa kaos kaki dari Indo.”

“Pake pas di kamar ‘kan bisa, kawanku,” sahutku menimpali.

Aisley membalas, “Oh, iya.”

Sesampainya di depan kelas, sayup-sayup aku mendengar suara guru menjelaskan materi. Begitu payung kuletakkan di luar beserta yang milik teman-temanku, aku bergegas masuk menyusul yang lainnya dan memasukkan penghangat saku ke kantong plastik klip untuk disimpan ke dalam tas.

Kudapati bahwa di dalam tidak terlalu dingin, tetapi kalau mau bilang hangat juga rasanya bukan. Kalau di hari biasa, suhu di dalam kelas lebih dingin daripada di luar. Itu juga karena cuacanya lebih cerah.

Tahu-tahu kelas sudah berakhir. Ketika keluar kelas, bersiap untuk beranjak ke gedung kelas selanjutnya, kukeluarkan lagi penghangat saku dan mengibaskannya di udara.

Rasanya sedikit lebih hangat dari yang pertama kali.

Apa karna aku aja yang nggak paham cara pakenya, ya? batinku.

Tentang Penulis:

Dengan nama pena Claudine Laura, penulis kelahiran Bandung pada tanggal 5 Februari 2004 ini tidak memiliki cita-cita yang spesifik, tetapi motonya, “Asal bisa berguna bagi Indonesia apa pun kontribusinya.” Kagum terhadap penyandang disabilitas dan menguasai sedikit bahasa isyarat. Penulis yang berkarya di Wattpad @ClaudineLaura dengan akun Instagram @claudinelaura_.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *